Senin, 02 Mei 2011

Hukum Tidak Membaca Al-Quran, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya: Apa nasehat Syaikh yg mulia kepada orang-orang yg menghabiskan waktunya selama sebulan bahkan berbulan-bulan tetapi tdk pernah menyentuh Kitab Allah sama sekali tanpa udzur. Dan, salah seorang di antara mereka akan anda dapatkan sibuk mengikuti edisi-edisi Majalah yg tdk bermanfa'at?
Jawaban
Disunnahkan bagi seorang mukmin & mukminah utk memperbanyak bacaan terhadap Kitabullah disertai dg tadabur & pemahaman, baik melalui mushaf ataupun hafalan. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya: Ini adalah sebuah kitab yg kami turunkan kepadamu penuh dg berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya & supaya mendapat pelajaran orang-orang yg mempunyai pikiran," (Shad: 29)
Dan firmanNya,
"Artinya: Sesungguhnya orang-orang yg selalu membaca kitab Allah & mendirikan shalat & menafkahkan sebahagian dari rizki yg Kami anugerahkan kepada mereka dg diam-diam & terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yg tdk akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka & menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (Fathir:29-30)
Tilawah yg dimaksud mencakup bacaan & Ittiba' (pengamalan), bacaan dg tadabbur & pemahaman, sedangkan ikhlash kepada Allah merupakan sarana di dalam Ittiba ' & di dalam tilawah tersebut juga terdapat pahala yg besar, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Artinya: Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pd Hari Kiamat sebagai penolong bagi orang-orang yg membacanya."
Dan dalam sabda beliau yg lain,
"Artinya: Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur 'an & mengajarkannya."
Dan dalam sabda beliau yg lain,
"Artinya: Barangsiapa yg membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku tdk mengatakan 'Alif Laam Miim ' sebagai satu huruf, akan tetapi 'Alif sebagai satu huruf, 'Laam ' sebagai satu huruf & 'miim ' sebagai satu huruf."
Demikian pula telah terdapat hadits yg shahih dari beliau, bahwasanya beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash,
"Bacalah Al-Qur 'an setiap bulannya. " Dia (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) berkata, "Aku menjawab, 'Aku menyanggupi lebih banyak dari itu lagi.' Lalu beliau bersabda lagi, 'Bacalah setiap tujuh malam sekali."
Para sahabat Nabi mengkhatamkannya pd setiap seminggu sekali.
Wasiat saya kepada semua para Qari Al-Qur'an agar memperbanyak bacaan Al-Qur'an dg cara mentadabburi, memahami & berbuat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai tujuan utk mendapatkan faedah & ilmu. Dan, hendaknya pula dapat mengkhatamkannya setiap bulan sekali & bila ada keluangan, maka lebih sedikit dari itu lagi sebab yg demikian itulah kebaikan yg banyak. Boleh mengkhatamkannya kurang dari seminggu sekali & yg utama agar tdk mengkhatamkannya kurang dari tiga hari sekali karena hal seperti itu yg sesuai dg petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash & karena membacanya kurang dari tiga hari akan menyebabkan keterburu-buruan & tdk dapat mentadabburinya.
Demikian juga, tdk boleh membacanya dari mushaf kecuali dalam kondisi suci, sedangkan bila membacanya secara hafalan (di luar kepala) maka tdk apa-apa sekalipun tdk dalam kondisi berwudhu'.
Sedangkan orang yg sedang junub, maka dia tdk boleh membacanya baik melalui mushaf ataupun secara hafalan sampai dia mandi bersih dulu. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad & para pengarang buku-buku As-Sunan dg sanad Hasan dari 'Ali , bahwasanya dia berkata, "Tidak ada sesuatupun yg menahan (dalam versi riwayat yg lain: menghalangi) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari membaca Al-Qur'an selain jinabah."
Wa billahi at-Tawfiq.
(Fatawa al-Mar'ah, h.96-97, Dari fatwa Syaikh ibn Baz)
(Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama. Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia, Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq)
___ Foote Note
. HR. Muslim, Shalah al-Musafirin (804).
. HR. Al-Bukhari, Fadha’il al-Qur’an (5027).
. HR. At-Tirmidzi, Fadha'il al-Qur 'an (2910).
. HR. Al-Bukhari, Fadha 'il al-Qur'an (5052); Muslim, ash-Shiyam (1159).
Penulis: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz & diterbitkan oleh almanhaj.or.id

Menjadikannya Sebagai Pekerjaan Tetap - Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) menjadi terkenal bisa mengobati orang dg menggunakan ruqyah. Kemampuan meruqyah membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai sarana-sarana tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Dengan banyaknya imbalan yg diperoleh dari meruqyah ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan & mengambil jalan pintas dg cara mengkhususkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun banyak memperluas waktu utk itu & selalu siap apabila ada orang yg datang utk berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter & rumah sakit spesialis, serta menjadikan meruqyah ini sebagai pekerjaan tetap (profesi).
Mereka mengkhususkan diri utk meruqyah & menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi peruqyah itu sendiri maupun bagi mereka yg diruqyah. Di antara kemudharatan itu antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yg datang berobat kepada peruqyah, bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, hanya dg melihat banyaknya pengunjung yg datang kepadanya, peruqyah tadi mempunyai kekhususan yg tdk dimiliki oleh orang lain. Sehingga dg demikian, pentingnya peruqyah melebihi pentingnya bacaan-bacaan yg dibaca oleh peruqyah tadi, yaitu kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tdk lagi melihat pentingnya apa yg dibaca oleh peruqyah, namun hanya melihat kepada peruqyah itu saja.
Dalam hal meruqyah, yg memberi manfaat sebenarnya adalah apa yg dibaca dari Al Qur`an, sedangkan peruqyah itu sendiri hanya membacakan saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar & rahmat bagi orang-orang yg beriman…" (Al Isra`: 82).
Dalam surat lain Allah berfirman:

"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar & petunjuk bagi orang-orang yg beriman …." (Fushilat:44).
Kita tdk memungkiri ada atsar dari keshalihan peruqyah, kuat keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan saja. Karena yg mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yg dibaca oleh si peruqyah tersebut.
Jadi setiap apa yg melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah & tdk dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yg menjadi obat sempurna bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia & akhirat. Tidak seorang pun yg bisa menyembuhkannya kecuali Dia. Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dg menggunakan Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pd anggota badan yg sakit dg penuh keyakinan & keimanannya, menerima dg lapang dada, & dg keyakinan yg mantap serta semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi, maka penyakit itu tdk akan pernah menghalanginya utk mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yg ada di langit & di bumi; apabila Al Qur`an itu diturunkan di atas gunung, maka gunung itu akan hancur; / kalau diturunkan di atas bumi, maka bumi itu sendiri akan terpotong & terbelah" .
Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama kaum Muslimin yg tdk diragukan lagi keimanan & kelebihan mereka, maka kita tdk akan menemukan seorang pun di antara mereka yg meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka & mengkhususkan diri dg membuka praktek pengobatan melalui ruqyah. Kita juga tdk akan mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yg menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi terkenal di kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga pekerjaannya ini beserta namanya.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah banyak. Namun kita tdk melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum Muslimin yg menisbatkan dirinya sebagai tukang ruqyah seperti penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) & qadhi (hakim). Pada zaman dahulu, orang yg menderita suatu penyakit, dia sendirilah yg meruqyah dg menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) & do’a-do’a yg datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang yg sakit, kemudian ia diruqyah oleh orang yg faham tentang agama, maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yg digigit kalajengking pd waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya meruqyahnya?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
"Barangsiapa di antara kalian yg mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan".
Seandainya mengkhususkan diri utk meruqyah & menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat adalah suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu daripada kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yg termasuk bagian dari syari’at Islam, namun dilakukan dg cara yg tdk sesuai dg tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam & tdk pernah dilakukan oleh para sahabat, kemudian dianggap baik oleh masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal ini sesuai dg penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pd suatu hari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan yg sedang memegang tasbih yg ia gunakan utk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga melewati seorang laki-laki yg sedang bertasbih (memuji-muji kepada Allah) dg menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang batu-batu itu dg kakinya, lantas berkata,’Kelalaian telah membawa kebid’ahan yg merupakan suatu kezhaliman, / kalian telah melampaui keilmuan para sahabat Radhiyallahu 'anhum?’."
Sebenarnya yg membuat para tukang ruqyah pd zaman kita ini lebih terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus utk menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yg dilakukan para dokter, pedagang / pemilik perusahaan lainnya.
Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus utk meruqyah -tentu akan banyak yg datang, & kemudian beliau sibuk hanya utk menemui mereka kapan mereka mau- tentu beliau tdk akan dapat mengajarkan ilmu syar’i, & juga tdk dapat menjelaskan tentang kebenaran agama Islam kepada umat. Terlebih lagi pd zaman yg diliputi kejahilan seperti saat ini serta merebaknya kebodohan & khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada wali-wali setan, para syaikh & kepada tokoh tertentu.
Para ulama Ahlus Sunnah tdk mengkhususkan diri mereka semata-mata utk melayani pengobatan dg ruqyah ini, karena mereka betul-betul faham terhadap agama Islam -semoga Allah merahmatinya-. Para ulama Ahlus Sunnah banyak menyibukkan diri dg menuntut ilmu utk memahami agama Islam, mendakwahkannya & berjihad di jalan Allah.
Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada peruqyah yg sudah menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan berpura-pura takut kepada peruqyah, kemudian akan mengatakan bahwa dirinya akan keluar dari tubuh orang yg dimasukinya tadi & yg semisalnya, dg tujuan utk menambah kepercayaan orang tadi kepada peruqyah lebih kuat daripada kepercayaannya terhadap apa yg dibaca oleh peruqyah itu. Di samping itu, setan-setan itu juga bermaksud agar orang awam berkeyakinan, bahwa ruqyah mempunyai keanehan tersendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dg lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab -istri Abdullah bin Mas’ud c – berkata: Sesungguhnya Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku menjawab,”Benang utk meruqyahku”. Zainab berkata: Lalu Abdullah mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia berkata: Kamu semua, wahai keluarga Abdullah, sungguh tdk butuh kepada syirik. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya ruqyah , tamimah, & tiwalah adalah syirik".
Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, & aku berobat kepada fulan Yahudi. Jika ia meruqyahku, maka aku merasa enak”.
Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu merangsangnya dg tangannya. Karenanya, jika ia meruqyah, ia menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan sebagaimana Rasulullah ucapkan.
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.
"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, & sembuhkanlah! Engkau adalah Dzat Penyembuh, tdk ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau, kesembuhan yg tdk meninggalkan penyakit".
Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tdk bisa diketahui, kecuali oleh orang-orang yg faqih dalam masalah agama. Sedangkan apa yg dilakukan orang-orang awam ketika mendengar cerita-cerita aneh tentang si peruqyah, mereka hanya berlomba-lomba menemui tukang ruqyah itu & memberikan kepada mereka upah yg tdk sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi apabila mereka mendengar bahwa setan-setan berbicara dg menggunakan lidah orang-orang yg dimasukinya tadi di depan peruqyah, kemudian peruqyah tadi membuat perjanjian dg setan itu utk tdk masuk lagi ke dalam tubuh orang yg dimasukinya tersebut.
Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak pula orang-orang yg mendatangi peruqyah ini dg maksud utk memastikan bahwa dalam dirinya memang tdk ada jin. Seandainya keadaan seperti ini memang benar merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seharusnya bagi peruqyah itu utk takut dari akibat yg disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi seandainya ia tdk bisa menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj, / hal itu hanya merupakan tipu daya setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yg luar biasa itu sering terjadi pd diri seseorang, maka hal itu tidaklah mengurangi derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih yg bertaubat dari hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana taubatnya orang-orang yg berbuat dosa-dosa, seperti dosa zina & mencuri. Mereka mengadukan hal itu kepada yg lainnya lantas berdo’a memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala utk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan kepada orang-orang yg ingin bertaubat agar jangan mengharapkan kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi yg harus didapatkannya. Jangan pula berbangga dg hal itu kemudian menyangka, bahwa hal itu sebagai bagian dari karamah. Bagaimana seandainya, jika hal itu benar-benar perbuatan setan dg maksud utk menyesatkan mereka? Karena saya tahu, orang-orang yg diajak berbicara oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa di dalam dirinya ada manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yg mengajak mereka berbicara itu adalah para setan yg ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya juga mengerti orang-orang yg diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu & pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat menyenangkanmu wahai wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya, maka hilanglah semua itu. Saya juga mengerti orang-orang yg pergi menangkap burung; lantas burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah diriku agar aku dimakan oleh orang-orang yg sangat membutuhkan”. Hal itu bisa terjadi, karena setan masuk ke dalam tubuh burung itu; sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu berkata seperti yg diucapkan tadi”.
Bisa jadi, orang-orang yg meruqyah itu merasa bahwa dirinya adalah salah seorang wali Allah yg berbakti kepadaNya, / merasa tinggi hati & yg lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yg sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui ruqyahnya; demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya & langsung keluar dari orang yg kesurupan, & yg lainnya. Para salafush shalih dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut & khawatir terhadap hal-hal seperti ini, & mereka pun menutup jalan masuk perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yg meruqyah, sebagaimana yg sudah disebutkan di muka, tidaklah seperti seorang dokter yg banyak dikunjungi para pasien utk berobat kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dg pengobatan yg sudah diketahui, & dia tdk mengetahui bahwa obat itu bermanfaat kecuali apabila pasien itu sendiri yg mengatakan kepadanya tentang penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu tergantung dg obat-obatan yg diberikan oleh dokter, bukan dg dokter yg mengobatinya. Ini berbeda dg seorang peruqyah; maka dia menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pd dirinya bukan kepada apa yg dibacanya, dg alasan Al Qur`an ada pd diri setiap Muslim, mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun demikian, mereka berserah diri agar yg membacanya itu harus si peruqyah. Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub & sombong pd diri peruqyah; dia menyangka dirinya dg prasangka yg bermacam-macam. Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yg perlu diarahkan kepada para tukang ruqyah yg menggunakan tata cara yg tdk dicontohkan syar’i. Yaitu, kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila mereka meruqyah seseorang, namun jin yg ada dalam tubuh orang tersebut tdk mau berbicara, mereka dg mudahnya berkata “tidak ada jin dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, / perkataan “tidak ada jin dalam tubuhmu & tdk juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata “kami tidaklah meruqyah orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan berbicara & berdialog dg kami karena takutnya kepada kami, / kepada bacaan-bacaan yg kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si peruqyah tersebut berilmu. Karena sesungguhnya orang yg kesurupan, apabila dibacakan doa & dzikir-dzikir yg biasa digunakan utk meruqyah, kemudian jin yg ada di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tdk berbicara & tdk takut. Jadi, dari mana para tukang ruqyah itu mengatakan dg yakin, bahwa tdk ada jin / penyakit ‘ain pd diri seorang kesurupan yg sedang diruqyahnya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi, karena orang yg sakit tadi meninggalkan doa-doa yg diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, & sebaliknya ia yakin dg perkataan-perkataan para tukang ruqyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tdk mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". (Al Isra`: 36).
Hal yg perlu juga dikritik dari para peruqyah tersebut, yaitu cara mereka mengumpulkan orang-orang yg datang berobat kepadanya, kemudian dia membacakan kepada mereka sekaligus dg satu bacaan, dg tujuan utk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yg datang berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah peruqyah dg menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan majelis khusus dg mengundang banyak orang utk diruqyah, kemudian diruqyah satu persatu, dg maksud sebagai tontonan kepada masyarakat sebagai media pengobatan massal.
Melihat begitu banyaknya keuntungan yg diperoleh dg menggunakan cara seperti itu oleh para peruqyah, seperti harta banyak, maka beberapa dukun maupun orang pintar & pembohong besar berlomba-lomba menampakkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun membuka tempat-tempat khusus utk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dg kebatilan sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan demikian, sulit utk mengingkari para dukun & orang pintar, karena semuanya bercampur dg orang yg tdk mencampurkan bacaan mereka dg tipuan / ramalan yg mengakibatkan sulitnya membedakan antara mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka wajib bagi kita utk mencegahnya, sekalipun orang yg melakukan hal itu bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud & para sahabatnya serta para ulama tersohor melarang utk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, sebagai cara utk mencegah kemungkaran, agar hal itu tdk menjurus pd penggantungan tama’im . Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.
Orang-orang yg mengkhususkan diri utk meruqyah & menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh saja dilakukan & hukum melakukannya adalah sunnah; & sunnah termasuk salah satu hukum syar’i yg merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan ruqyah sebagai profesi tdk pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam & tdk juga oleh para khulafa’ur rasyidin.
Adapun yg terjadi pd zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah sumber air yg di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada yg dapat meruqyah karena di dekat sumber air itu ada orang yg tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para sahabat membacakan surat Al Fatihah dg perjanjian, apabila ia sembuh, maka ia dibayar dg seekor kambing. Setelah dibacakan, orang itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dg perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke rombongannya dg membawa seekor kambing, rombongannya tdk mau menerima kambing itu & berkata: “Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menjawab:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yg kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".
Beberapa sahabat ada yg terkenal dg doanya yg mustajab, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yg diberi kabar gembira utk masuk surga, & termasuk orang yg didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku:
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan kemustajaban doa mereka utk memperbaiki dunia & agama kaum Muslimin, meski sebenarnya tdk ada larangan syar’i utk datang & meminta doa kepada mereka, sebagaimana yg dilakukan Umar bin Khaththab z kepada Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukannnya utk melakukan hal itu. Walau demikian, tdk diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah berkumpul di tempat Uwais utk meminta doa, demikian juga penduduk Makkah & Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi fitnah pd diri orang-orang tersebut & terhadap Uwais sendiri. Dan karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha menyembunyikan keberkahan doanya & tdk menjerumuskan diri sendiri & orang lain terhadap fitnah.
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yg datang dari negeri Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian ada yg bernama Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais, kemudian beliau berkata: “Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau berkata lagi,”Uwais yg berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais menjawab,”Ya, betul.” Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena penyakit kusta, namun setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal sedikit lagi?” Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau mempunyai seorang ibu?” Uwais menjawab,”Betul.” Setelah itu Umar berkata lagi,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,‘Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit tersebut kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Dia sangat berbakti kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dg Nama Allah, karena baktinya kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala permintaannya. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata: “Mohonkanlah pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah itu Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.
Setelah itu Umar bertanya,”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab,”Ke negeri Kufah.” Umar berkata lagi,”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat kepada gubernur di sana?” Dia menjawab,”Aku lebih senang bersama orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang ke kota Makkah utk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu bertemu dg Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab,”Aku tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.” Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yg disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang & langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab,”Engkau baru saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yg lebih pantas utk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah engkau bertemu dg Umar?” Kepala suku itu menjawab: “Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya, sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan setiap orang yg melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari mana Uwais mendapatkan pakaian itu?"
Pada hakikatnya ruqyah itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan sebagai doa & yg semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri bergantian mendatangi seseorang yg tampaknya bisa memberikan kebaikan bagi anak-anak mereka dg cara men-tahnik-nya dg kurma / lainnya, maka banyak juga orang yg datang membawa anak mereka utk di tahnik. Yang nampak sangat jelas pd zaman Nabi, banyak bayi yg lahir, tetapi tdk dibawa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam minta utk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yg meruqyah khawatir terhadap dirinya / terhadap mereka dari fitnah.
Ironisnya pd zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) yg didatangi oleh beribu-ribu orang dg tujuan meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; apakah mereka tdk merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong & lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan & kepasrahan mereka terhadap peruqyah lebih besar daripada ketergantungan & kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala & firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dg peruqyah hanya karena melihat banyaknya pengunjung yg datang menemuinya, sementara hal ini merupakan sesuatu yg tdk pernah mereka lihat pd sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tdk diragukan lagi, mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila kehancuran yg diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yg diharapkan. Di samping itu, meruqyah seperti itu juga bisa mendatangkan kerusakan pd diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar & membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai ruqyah dg cara-cara yg tdk pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush shalih, seperti dg cara memukul, / gaya tertentu, / membacakan terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dg satu bacaan, lantas meniup pd bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yg mengkhususkan diri utk meruqyah, sama seperti orang yg mengkhususkan dirinya utk berdoa bagi orang lain; sehingga dg demikian, ruqyah & doa adalah sama. Jadi apakah pantas bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dg petunjuk para salafush shalih. Selain itu juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu & para sahabat lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pd diri orang awam & orang-orang yg tdk berilmu; mereka menyangka, cara ini adalah cara yg benar dalam melakukan ruqyah, sehingga mereka pun pergi meminta ruqyah kepada orang lain & melupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah, yaitu meruqyah diri sendiri & menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala utk memohon kesembuhan kepadaNya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri menjadi peruqyah & menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tdk dibenarkan. Hal seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah & lain sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi & kaum muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yg benar, mengikuti Al Qur`an & Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji’:
1. Ar Ruqaa; ‘Ala Dhau’i Aqidati Ahli As Sunnati Wal Jama’ati Wa Hukmu At Tafarrughi Laha Wat Tikhaadzihaa Hirfah, oleh Dr. Ali bin Nufayyi’ Al Alyani, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1411 H.
2. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Fatawa Al Ulama Fi ‘Ilajis Sihr Wal Mass Wal ‘Ain Wal Jann, Jam’u Wa Tartib Nabiyyil Bion, Muhammad Mahmud, Cet. II, Darul Qasim, Th.14221 H.
4. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, Juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, tahqiq Syu’aib & Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah Ar Risalah, Th. 1415 H.
5. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan, Th. 1419 H.
6. Risalah Fi Ahkamir Ruqaa Wat Tamaaim Wa Shifati Ruqyah Asy Syar’iyyah, Muhammad bin Ibrahim.
7. Qawa’id Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman As Sad-haan, Cet. Dar Al ‘Ashimah, Th. 1415 H.
(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016)
Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas & diterbitkan oleh almanhaj.or.id