Jumat, 08 April 2011

Sesungguhnya WANITA Itu CANTIK

Sesungguhnya WANITA Itu CANTIK


Ada cara yang mudah dan murah untuk membuat perempuan cantik, meskipun secara fisik mereka kurang menarik. Yang pertama kali harus dilakukan adalah mendefinisikan kembali makna cantik tersebut. Cantik bukan masalah fisik semata. Kecantikan sejati juga bisa diraih dengan memaknakan kecantikan sebagai berikut:

1. Kecantikan perempuan ada dalam iman taqwanya yang menyejukkan mata kaum laki-laki.

Seorang perempuan yang menghias jasmaninya dengan iman dan taqwa akan memancarkan cahaya surga. Dengan kepatuhannya menjalankan ibadah, ia akan memesona.Yang kuasa akan memberikannya kecantikan abadi, magnet alami. Tak perlu kosmetik, parfum atau penampilan berlebih, laki-laki akan tertarik padanya.

2. Kecantikan perempuan ada pada kehangatan sikapnya yang mampu menggetarkan sensifitas dan kecintaan pria.

Secara umum laki-laki memang responsif terhadap perempuan yang bagus fisiknya. Tapi ketertarikan itu tak kekal, bisa membuat laki-laki bosan. Kehangatan kasih sayang dan cinta kasih yang tuluslah yang akan membuat sang pria nyaman berada di sisinya. Tak bisa melupakannya.

3. Kecantikan Perempuan ada pada kelembutan sikapnya

Kelembutan bukan berarti lembek dan manja. Kelembutan seperti roti. Meskipun sedikit, tapi mengenyangkan. Dari toko roti manapun roti berasal, ia tetap lembut. Jadi perempuan dari suku manapun bisa tetap lembut, pada pasangannya, pada anak-anaknya. Asalkan ia mau berusaha.

4. Kecantikan perempuan berada dalam pandangannya yang teduh dan suaranya yang hangat.

Walau mata tak seindah bintang kejora, setiap perempuan bisa memiliki mata embun. Teduh. Sejuk. Tak gampang emosi. Menyikapi tingkah laku sekitarnya secara bijak. Ia selau berprasangka baik. Perkatannya bukan pisau yang menikam. Perkataannya adalah bara yang menyalakan semangat di dada. Tak ada kata sia-sia yang terucap dari bibirnya.

5. Kecantikan perempuan berada dalam senyumannya yang menambah kecantikannya dan membuat gembira hati orang yang melihatnya.

Senyum adalah sedekah. Murah senyum tanpa bermaksud menggoda apalagi berlebihan bisa membuat wajah indah. Meskipun berwajah rupawan, tapi jika malas tersenyum, hanya aura negatif yang akan ditangkap oleh orang-orang di sekitarnya

6. Kecantikan perempuan berada pada intelektualitasnya

Ukuran intelektual bukan pada gelar sarjananya atau di mana ia pernah menuntut. Banyak ilmu-ilmu yang bisa dipungut dari sekitar, yang membuat si perempuan mejadi cerdas. Kehidupan adalah sekolah yang tak pernah tamat sebelum ajal menjelang. Tak ada sekolah untuk menjadi istri yang baik. Tak ada universitas yang melahirkan ibu yang baik. Ruang dan waktulah yang akan menempa perempuan menjadi istri dan ibu yang baik.

7. Kecantikan perempuan berada pada seberapa jauh pengetahuannya akan tanggung jawabnya terhadap keluarga, rumah, anak-anak , masyarakat dan umat manusia.

Perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seberapa jauh pengetahuan seorang perempuan akan terlihat dari tingkah laku keluarganya. Ia selalu berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya. Mengambil peran penting dalam rangka memperbaiki lingkungan. Lihatlah laki-laki sukses di jagat raya. Dibalik kesuksesannya, pasti ada perempuan tangguh yang menemaninya. Menjadi pendukung nomor satu, tempat kembali saat sang pahlawan lelah berjuang.

8. Kecantikan perempuan berada pada kemampuan dan keinginannya untuk memberi.

Orang bisa miskin harta, tapi ia bisa kaya hati. Selalu memberi, tanpa mengharap imbalan yang berarti. Ia senang ketika orang lain senang. Ia sedih ketika orang lain sedih. Kemurahan hatinya membuat wajahnya bersinar. Membuat ia selalu dirindukan, meskipun sosoknya biasa-biasa saja.


Sahabatku...
Kecantikan-kecantikan ini sifatnya abadi.
Akan dikenang meskipun si perempuan telah tiada.
Tidak seperti kecantikan lahiriah yang sementara.
Setelah tua, ketika senja menyapa, ia tak menarik lagi.
Manakah yang akan Anda pilih?
Kecantikan sementara atau kecantikan abadi?

(oleh Zafiruddin Ziyaad )

MASIH HIDUPKAH HATIKU

Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan (Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275), "Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (non-fisik) yang paling agung di dalam tubuh. Allah ta'ala berfirman (yang artinya, "Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia, dengan orang yang senasib dengannya namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya." (QS. al-An'am : 122). Maksudnya orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman."

Beliau melanjutkan, "Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya. Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, "Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma'ruf dan mungkar." Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit (dikuasai) syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu -karena kelemahannya- akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya sesuai dengan kadar kuat-lemahnya penyakit tersebut." (hal. 275)

Kemudian Ibnu Abil 'Izz rahimahullah memaparkan, "Penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan : penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir). Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir. Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah namun orangnya tidak menyadarinya. Hal itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakekat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjagaya. Bahkan terkadang hati seseorang mati namun dia tidak menyadari kematiannya. Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan maksiat tidak lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidak mengertiannya mengenai aqidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya. Sebab apabila hati masih hidup tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair), "Luka di tubuh mayit, tentu tidak terasa menyakitkan baginya."." (hal. 275)

Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, "Terkadang orang merasakan penyakit yang bersarang di dalam hatinya, namun dia mau menahan rasa pahit yang sangat demi menelan obat dan berusaha tetap sabar untuk menyembuhkan dirinya. Maka dia lebih menyukai merasa sakit karena proses pengobatan yang harus dijalaninya yang sedemikian susah (daripada membiarkan penyakitnya terus menjalar). Sesungguhnya obat untuk penyakit hati adalah dengan berjuang menyelisihi hawa nafsu. Padahal perkara itu -menyelisihi nafsu- adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat bagi jiwa manusia. Namun, memang tidak ada obat lain yang lebih manjur daripada obat itu. Terkadang, ketika berusaha untuk melatih jiwanya untuk sabar kemudian ternyata tekadnya memudar di tengah jalan sehingga hal itu membuatnya tidak mau lagi bertahan; karena begitu lemahnya ilmu, keyakinan, dan kesabaran dirinya. Hal itu sebagaimana halnya orang yang berusaha menempuh suatu jalan menuju daerah yang aman namun jalan itu diliputi dengan hal-hal yang menakutkan. Padahal, si penempuh jalan itu pun menyadari bahwa apabila dia mau bersabar niscaya rasa takut itu akan lenyap dan berakhir dengan rasa aman. Untuk itulah dia memerlukan kekuatan sabar dan keyakinan yang kokoh terhadap tujuan yang akan dicapai. Kapan saja sabar dan keyakinannya melemah, maka dia akan berputar haluan meninggalkan jalan itu dan tidak mau repot-repot merasakan beratnya kesulitan yang ada di sana. Apalagi jika tidak ada teman (baik) yang menyertainya sehingga dia merasa gentar berjalan sendirian (di atas kebenaran), maka dia pun mengeluh, "Di manakah orang-orang (baik) itu, di saat aku membutuhkan mereka; sehingga aku bisa meniru mereka!". Inilah keadaan yang menimpa kebanyakan orang, dan itulah penyebab kehancuran mereka. Sesungguhnya orang yang benar-benar sabar dan tulus tidak akan merasa gentar hanya karena sedikitnya teman ataupun karena kehilangan kawan; hal ini akan bisa dia rasakan ketika hatinya senantiasa merasakan kebersamaan (persahabatan) dengan generasi yang pertama, yaitu (sebagaimana makna firman Allah), "Orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman." (QS. an-Nisaa' : 69)…." (hal. 275)

Beliau kembali menuturkan, "Tanda sakitnya hati adalah ketika dia berpaling dari mengkonsumsi asupan gizi yang bermanfaat dan cocok (bagi kesehatan hatinya) menuju asupan-asupan yang berbahaya, serta ketika dia berpaling meninggalkan obat yang manjur kepada obat yang membahayakannya. Maka di sini ada empat perkara : [1] asupan yang bermanfaat, [2] obat yang menyembuhkan, [3] asupan yang membahayakan, dan [4] obat yang membinasakan. Hati yang sehat akan memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya dan menyakiti. Sedangkan hati yang sakit justru sebaliknya. Asupan paling bermanfaat adalah asupan iman, sedangkan obat paling bermanfaat adalah obat al-Qur'an, dan masing-masing dari keduanya (iman dan al-Qur'an) juga menyimpan asupan sekaligus obat. Sehingga orang yang menginginkan kesembuhan dengan selain (bimbingan) al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia tergolong ajhalul jaahiliin (orang yang paling bodoh) dan termasuk deretan adhalludh dhaalliin (orang yang paling sesat)…" (hal. 276).

Allahul musta'aan.